di rangkum Oleh Muhammad Nasir.SP warga Samalanga desa Cot mane dekat dengan Batee Iliek
Sejarah Samalanga
Bate Iliek Samalanga Pertahanan Pejuang Aceh,
Melawan Belanda
Teungku Cut Sa’id yang ato prang,
ato rakan kameuteuntee
Dalam kuta gle yang that meuceuhu,
Yang to bak u dum meuribee
Dalam kuta gle yang that meusigak,
Ateuh seulambak le that guree
Kafe dum jiplueng keudeh u laot/
Geulet di likot meuree-ree…
Itu sepenggal syair Aceh tentang
kisah Kuta Gle. Bukit itu bekas benten pertahanan pejuang Aceh, dan selama 30
tahun mampu bertahan melawan Belanda. Benteng itu adalah bukit yang terletak
bagian hulu sungai Batee Iliek Samalanga, perbatasan Pidie Jaya-Bireuen. Cerita
tentang seorang pahlawan pimpinan perang Kuta Gle Tgk. Cut Sa’id. Juga
digambarkan bagaimana serdadu Belanda kalah telak menghadapi ketangguhan
pejuang Aceh di Samalanga.
Samalanga ketika itu termasuk
wilayah otonom yang diberi kuasa penuh oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik
Bugis, tapi dalam menjalankan pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada
seorang tokoh wanita bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini
saja, Belanda keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai
Samalanga karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang
perdagangan.
Ketika Van Der Heijden diangkat
Pemerintah Hindia Belanda menjadi Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran
pertamanya adalah menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang
Samalanga dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion
terdiri tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun sekian
kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu Belanda mati,
termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang dipancung kepalanya oleh
seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini juga syahid dalam agresi
pertama Belanda ke Samalanga.
Pejuang Samalanga tak dapat
dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali menyusun kekuatan menyerbu dengan
melibatkan tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah
900 orang hukuman yang diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan
pertempuran, Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga.
Ratusan serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan
mata kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini
kemudian si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta
siblsah.
Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan
Pocut Meuligoe masih berkuasa penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda
tidak berani mendekati bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T
Veer dalam bukunya De Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta
Gle Batee Iliek adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda.
Dan Batee Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para ulama
yang sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.
Satu ketika setelah tiga tahun
Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba tanggal 30 Juni 1880, Letna Van
Woortman dengan 65 orang pasukannya mencoba menyusup ke Bneteng Kuta Gle Batee
Iliek. Namun sampai di Cot Meureak (kira-kita sekitar 2 Km ke arah Utara Betee
Iliek) ke 65 pasukan Belanda itu di hadang oleh gerilia pasukan Aceh.
Dalam insiden itu banyak serdadu
Belanda mati dan terluka parah. Peristiwa ini segera disampaikan ke Banda Aceh
sehingga. Gubernur Van Der Heijden berang karena serdadunya kalah. Maka tanggl
13 Juli 1880, Van Der Heijden kembali mengirimkan ekspedisinya secara
besar-besaran ke Samalanga untuk menyerang Banteng Kuta Gle Betee Iliek.
Ekpedisi ini Belanda mengerahkan
satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander dari Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari
Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari Batalion campuran, juga dilengkapi 32
perwira dengan 1200 bawahannya diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini
juga turut serta Panglima Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan
Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda.
Beberapa kali Belanda melakukan
serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek tidak berhasil. Belanda terpaksa
memundurkan pasukannya ke Cot Meurak. Di sini sambil mereka istirahat dan
menyusun strategi penyerangan kedua ke Kuta Gle, Belanda juga harus menguburkan
mayat-mayat serdadu mereka. Tepatnya tanggal 17 Juli 1880, Belanda kembali
menyerang Kuta Gle. Dalam serbuan kedua ini rupanya Teuku Chik Bugis (raja
Samalanga) minta disertakan bersama dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk
menyesatkan arah pasukan Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh dalam
jumlah yang sangat besar.
Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi
mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle Batee Iliek menjadi konyol. Belanda harus
buru-buru mundur dan banyak sekali tentaranya yang tewas akibat dikibuli Teuku
Chik Bugis. Hari itu juga Chik Bugis ditangkap olen Belanda dan dibawa ke Banda
Aceh. Namun begitu, benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan
kekuatan pasukan Aceh yang sangat ditakuti Belanda.
Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak
pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T Veer mencatat dalam bukunya “Perang
Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah kampung kramat yang sangat sulit dihadapi
oleh Belanda. Bidikan tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran
(yang dimaksudkan Van ‘T Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang
Aceh) yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda-selancar
mereka membaca ayat-ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.
Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta
Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-serangan besar Belanda, pada tahun 1901
Jenderal Van Heutsz kembali memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek. Sehari
sebelum penyerangan Van Heutsz ke Batee Iliek ini, Van Heutsz lebih dulu
merayakan Ultah ke 50 (tanggal 3 Februari 1901).
Untuk membakar semangat perang bagi
serdadu Belanda, Van Heutsz, seorang tokoh legendaries perang Belanda Izaak
Thenu sengaja mengubah sebuah syair khusus untuk perang Samalanga. Bunyinya:
mari sobat, mari saudara Pergi perang di Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu
menyanyi bersama-sama.
Namun ekspedisi ini berhasil
dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru berhasil menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek
pada tahun 1904, setelah tiga tahun melakukan peperangan melawan pejuang Aceh
di wilayah Batee Iliek. Bahkan menurut sebagian cerita sejarah yang difahami
penduduk Samalanga, Van Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya
sekarang terdapat di atas bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.
Pocut Meuligo termasuk dalam deretan
wanita pejuang seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutiah, dan Tengku Fakinah.
Wanita yang juga dipanggil dengan Pocut Maligai ini dengan gagah berani telah
mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda selama beberapa tahun bahkan
seorang jenderal Belanda harus kehilangan satu matanya ketika berusaha merebut
Samalanga. Adalah Jenderal van der Heijden yang menjadi korban kegagahan
pasukan Pocut Meuligo. Mata kirinya tertembak pejuang Samalanga yang dipimpin
seorang remaja Puteri Pocut Meuligo.
Keberanian Pocut Meuligo ditulis
oleh seorang kapten Belanda yang bernama Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat
benci Belanda sampai-sampai ia memerintahkan semua rakyatnya berperang
sekalipun meninggalkan sawah dan ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat.
Pengaruh perempuan muda ini tidak hanya di Samalanga, ia sering mengirim
bantuan dana, keperluan logistik dan senjata ke Aceh Besar membantu pasukan
Aceh. Samalanga bisa memberikan kontribusi finansial yang besar bagi perjuangan
Aceh karena perdagangan ekspor Samalanga berkembang baik.
Schumacher melanjutkan bahwa pada
tahun 1876 Belanda berusaha keras agar Samalanga mengakui pemerintahan Belanda,
tetapi dijawab Samalanga dengan menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu
merompaknya.
Pada tahun yang sama, Gubernur
Belanda Kolonel Karel van der Heijden merancang serangan ke Samalanga dengan
menyiapkan tiga batalion dan semua kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis,
Amboina, Citade van Antwerpen, banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus,
Semarang dan Sumatera. Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies.
Ketika pasukan Belanda mendarat,
pasuka Aceh telah siap menanti kedatangan mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di
sebuah hutan yang telah dipasangi ranjau, satu batalion pasukan Belanda
dibantai dengan mudah hanya oleh 40 pejuang Aceh.
Tak lama kemudian bala bantuan
Belanda datang, dan pasukan Aceh mundur sambil mengumpulkan tenaga ke Pengit
Tunong. Di kawasan ini, perang sengit kemudian terjadi, pasukan Belanda amat
tertekan dan banyak yang lari lintang-pukang sambil membuang senjata begitu
saja. Kejadian ini tidak lepas dan peran seorang ulama setempat yang bernama
Haji Ahmad. Diceritakan bahwa salah seorang pemimpin pejuang Aceh, Haji Ahmad,
yang berbadan tinggi besar dan tegap melompat dan menyerang Letenan Ajudan
Richello dan memancung kepalanya.
Haji Ahmad ditahan Belanda sementara
Pocut Meuligo berusaha membebaskannya dengan cara berunding dengan Belanda
namun ulama Aceh itu tidak bisa diselamatkan dan menjadi salah satu syahid
dalam serangan pertama Belanda ke Samalanga itu.
Berhasil mempertahankan Samalanga
dan serangan Belanda pertama, pasukan Pocut Meuligo kembali memperkuat Benteng
Batee Ilie yang terletak di sebuah bukit tak jauh dan Samalanga.
Dalam serangan berikutnya, Kolonel
van der Heijden menyusun serangan untuk menaklukkan benteng Samalanga yang
telah dipasang ranjau, dan kawat dan berbagai perangkap lainnya. Tiga batalion
pasukan darat dan marinir telah disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman.
Pasukan ini dibekali dengan pelontar meriam dan 900 buah meriam. Penyerangan
Belanda ke Samalanga kali ini harus dibayar mahal karena Kolonel van der
Heijden tertembak mata sebelah kirinya sehingga diberi gelar Jenderal Mata Satu
oleh orang Aceh.
Selain itu, beberapa pimpinan
pasukan Belanda seperti mayor Dompselar dan Letnan Kolonel Meijar dan ratusan
prajurit Belanda terluka parah. Bagi Belanda, penyerangan mereka ke wilayah
yang dipimpin Pocut Meuligo ini merupakan penyerangan yang menyeramkan dalam
ingatan prajurit Belanda.
Belanda beberapa kali menyerang
Samalanga mulai 1 Agustus 1877 dan berakhir pada tanggal 17 September di meja
perundingan ketika kakak Pocut Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis tiba dan
misinya ke luar negeri membeli senjata. Hasil dan perundingan yang
diselenggarakan di markas Belanda itu adalah Belanda diperbolehkan menaikkan
Benderanya di Samalanga tetapi tidak berkuasa atas wilayah itu sementara
kegiatan perdagangan ekspor-impor Samalanga tetap berjalan tanpa ada gangguan
dari pihak manapun termasuk Belanda dan Benteng Batee llie tidak boleh diganggu
gugat, tetap bendaulat dan bebas mengibarkan bendera di puncak bukit tersebut.
Kemenangan tetap di pihak Samalanga.
Belanda belum puas dengan hasil
perjanjian tersebut dan berusaha merebut Samalanga. Pada tanggal 30 Juni 1880,
sebanyak 65 prajurit yang dipimpin Letnan van Woontman secara diam-diam
memasuki kampung dan sesampainya di Cot Merak, mereka dikepung penduduk
setempat dan pertempunan sengit pun terjadi. Prajurit Belanda itu tendesak dan
lari menyelamatkan diri kembali ke markas.
Pihak Belanda tersinggung dengan
peristiwa di Cok Merak. Akhirnya, van Heijden melanggar penjanjian yang telah
disepakati bersama. Ia mengirim satu ekspedisi yang terdiri dari 32 pegawai dan
1200 prajurit dengan alat tempur lengkap di bawah pimpinan Mayor Schilau dan
Mayor van Steenvelt. Turut bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang,
bekas orang kepercayaan Sultan, dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan
penunjuk jalan.
Pada tanggai 14 Juli kapal yang
membawa pasukan Belanda merapat di Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku
Cik Bugis, Pocut Meuligo, Teuku Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan
beberapa tokoh Samalanga, namun mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap
menghadapi kedatangan Belanda di Benteng Batee llie.
Sehari kemudian tepatnya tanggal 15
Juli Belanda menyerang Batee llie. Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda
tidak berhasil menembus pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan
berbagai jurusan sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan
peluru dan batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.
Tidak hanya itu, pasukan induk
Belanda pun diserang dengan kelewang dari belakang bukit. Schumacher mencatat Belanda
terus maju dan menyerang tetapi setiap kali maju mereka terpaksa mundur
meskipun bersenjata lengkap.
Perang berlangsung beberapa hari.
Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis juga turun tangan yang menyebabkan
pasukan Belanda lari lintang-pukang. Karena peristiwa ini Belanda kemudian
menangkap Teuku Cik Bugis namun tetap menyerang Samalanga. Karena setiap
serangan selalu dapat dipatahkan pejuang Samalanga, Belanda akhirnya
menghentikan penyerangan ke Samalanga
Pocut Meuligo kemudian menemui van
der Heijden yang membawa Teuku Cik Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian
dibebaskan tanpa syarat apapun.
Lagi dengan 900 prajurit bersenjata
lengkap untuk kali ketiga van der Heijden memimpin serangan ke Samalanga. Namun
usahanya gagal total. Penasaran dengan usahanya yang selalu gagal, akhirnya
pada tahun 1904 van der Heijden mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini
mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh tahun
melawan Belanda.
Lamanya Samalanga bertahan dan
serangan Belanda tidak terlepas dan peran kepemimpinan Pocut Meuligo yang
pantang menyerah dan selalu memompa semangat juang rakyatnya dengan tetap
bersandar kepada kekuatan Allah SWT sebagai hamba yang beriman kepada-Nya.***
Tun Sri Lanang adalah raja pertama kerajaan Samalanga
Kebesaran Kesultanan Islam Malaka
hancur setelah Portugis menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan
yang menyelamatkan diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah Portugis. Sebut
saja Pahang, Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani, Pasai dan
Aceh. Portugis berusaha menaklukkan kerajaan Islam yang kecil ini dan tanpa
perlawanan yang berarti. Perkembangan tersebut membuat gundah Sultan Ali
Mughayat Syah (1514-1530). Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam
di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu ini dari cengkeraman Portugis.
Keinginan Sultan didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan para pencari
suaka dari Melaka yang menetap di Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan Kerajaan
Islam Aceh Darussalam pada tahun 1512, dengan visi utamanya menyatukan negeri
kecil seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah
berprinsip. “Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam”. Karenanya dalam pikiran
Sultan untuk membangun negeri yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di
bidang politik, luar negeri, militer yang tangguh, ekonomi yang handal dan
pengaturan hukum/ketatanegaraan yang teratur. Dengan strategi inilah, menurut
pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh Darussalam akan menjadi negara yang akan
diperhitungkan dalam percaturan politik global, sesuai dengan masanya dan mampu
mengusir Portugis dari negeri Islam di nusantara yang telah didudukinya.
Dasar pembangunan kerajaan Islam
Aceh Darussalam yang digagaskan Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan
oleh penggantinya Sultan Alaidin Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah,
Saidil Mukammil dan Iskandar Muda. Aliansi dengan negara-negara Islam di
bentuk, baik yang ada di nusantara maupun di dunia Internasional. Misalnya Turki,
India, Persia, Maroko. Pada zaman inilah Aceh mampu menempatkan diri dalam
kelompok “lima besar Islam” negara-negara Islam di dunia. Hubungan diplomatik
dengan negeri nonmuslim pun dibina sepanjang tidak mengganggu dan bertentangan
dengan asas-asas kerajaan (A. Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah).
Perseteruan kerajaan Aceh dengan
Portugis terus berlangsung sampai tahun 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang
syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang dan
Trenggano. Populasi penduduk Aceh menurun drastis. Sultan Iskandar Muda
mengambil kebijakan baru dengan menggalakkan penduduk di daerah takluknya untuk
berimigrasi ke Aceh inti, misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor
dan Melaka,Perak,Deli. Sultan Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor,
pada tahun 1613. Seluruh penduduk Johor, termasuk Sultan Alauddin Riayatshah
III, adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan pembesar- pembesar negeri
Johor-Pahang seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri Kamaliah (Putroe Phang)
dan Bendaharanya (Perdana Mentri), Tun Muhammad kemudian dipindahkan ke Aceh.
Sultan Iskandar Muda kemudian menjadikan Tun Sri Lanang sebagai raja pertama ke
Samalanga atas saran dari putri Kamaliah. (A.K.Yakobi, Aceh Dalam Perang
Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949). Rotasi pimpinan ini sering
ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat
dukungan rakyat. Penobatan Tun Sri Lanang menjadi Raja Samalanga mendapat
dukungan rakyat, karena disamping dia ahli dibidang pemerintahan juga alim
dalam ilmu agama. Sultan Iskandar Muda mengharapkan dengan penunjukan tersebut
akan membantu pengembangan Islam di pesisir Timur Aceh.
Namun penunjukkan Tun Sri Lanang
sebagai raja tidak serta merta berjalan mulus. Hal itu karena adanya tentangan
dari beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei. Dia justru
menginginkan kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Menurut
kisah dan penuturan orang- orang tua di sana. Setelah Hakim Peut Misei dan
sebelas orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat selesai membuka
negeri Samalanga, lalu mereka bermusyawarah untuk menentukan siapa diantara
mereka yang berhak menjadi raja pertama Samalanga. Diantara panitia yang
terlibat dalam persiapan pengukuhan keuleebalangan Samalanga dan daerah
takluknya, terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat.
Demi mengatasi perselisihan
tersebut, atas saran masyarakat, kedua belas orang panitia tersebut kemudian
menghadap sultan Iskandar Muda. Mereka menyerahkan keputusan tersebut kepada
sultan, yang akan menentukan pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat
pendidikan Islam itu. Rencana dan kabar tersebut diam-diam sampai juga
ketelinga Puteri Pahang. Dia mengetahui rencana pertemuan dua belas tokoh
masyarakat yang akan menghadap sultan. Putri Pahang menginginkan
ke-uleebalangan Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara, yang
bergelar Tun Sri Lanang, yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Siasat pun
diatur dan berbagai cara juga ditempuh. Lalu Tun Sri Lanang diperintahkan
berlayar ke Samalanga, di sana dia harus berpura-pura sebagai seorang nelayan
yang kumuh tetapi ahli melihat bintang.
Berdasarkan rencana Putri Pahang,
Tun Sri Lanang harus sampai duluan di Samalanga dan ke dua belas tokoh
masyarakat tersebut diusahakan menggunakan jasa Tun Sri Lanang untuk berlayar
ke Kuala Aceh menghadap Sultan. Pada hari yang telah di sepakati bersama,
berangkatlah dua belas orang panitia menghadap sultan dengan didampingi seorang
pawang dari kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke dua belas orang itu kemudian
bertemu dengan Sultan dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mereka lalu
meminta kepada Sultan agar salah satu dari mereka dinobatkan menjadi uleebalang
pertama Samalanga.
Setelah meminta pendapat orang –
orang besar kerajaan dan Puteri Pahang, Sultan setuju menobatkan salah satu
dari mereka menjadi Raja pertama. Namun dengan satu syarat apabila cincin
kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok di jari kelingking
mereka. Mereka lalu mecoba satu persatu di jari mereka, tetapi cincin kerajaan
tersebut terlalu besar untuk dipakai pada jari ke ua belas orang tersebut.
Puteri Pahang menanyakan pada mereka apa ada orang lain yang tidak dibawa ke
balai rung Istana? Mereka dengan hati kesal menjawab memang masih ada tukang
perahu. Tun Sri Lanang pun kemudian dihadapkan kehadapan Sultan. Dia mencoba
cincin kerajaan itu, ternyata sangat cocok untuk jari kelingkingnya. Karena itu
kemudian Sultan Iskandar Muda menobatkan Tun Sri Lanang menjadi Raja pertama
Samalanga. Namun sewaktu mereka pulang, Tun Sri Lanang tiba-tiba dibuang di
tengah laut di kawasan Laweung.
Kejadian tersebut kemudian dikenal
dalam masyarakat Samalanga sebagai Peristiwa Laut. Beruntung, Tun Sri Lanang
berhasil diselamatakan oleh Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung). Setelah
menyelamatkan Tun Sri Lanang, Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh bersama T. Nek
Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Sultan. Mereka memberitahukan penemuan
Tun Sri Lanang di tengah laut. Mendengar berita tersebut, Sultan sangat murka,
dia kemudian memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima
Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani Tun Sri Lanang ke
Samalanga. Hakim Peut Misee dan sebelas orang panitia persiapan keuleebalangan
pun akhirnya dihukum pancung oleh sultan. Tun Sri Lanang menjadi Uleebalang
pertama Samalanga pada tahun 1615-1659 M. Dia mangkat dan dimakamakan di desa
Meunasah Leung Samalanga.
Pada masa pemerintahannya, dia
berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan Timur
Aceh. Tradisi itu terus berlanjut sampai sekarang. Samalanga menjadi kubu kuat
Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah menentang penjajahan Belanda.
Disamping ahli pemerintahan, Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai pujangga
melayu. Karyanya yang monumental adalah kitab Sulalatus Salatin.
MenurutWinstedt, kitab ini dikarang mulai bulan Februari 1614 dan selesai
Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai. Ketika di Batu Sawar,
Tun Sri Lanang sudah mulai menyusun penulisan sejarah Melayu berasaskan kitab
Hikayat Melayu yang diberikan oleh Yang Dipertuan di Hilir, Raja Abdullah. Dia
kembali menyambung pekerjaanya menyusun dan mengarang kitab sejarah Melayu
tersebut di Aceh sampai lengkap. Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak jelas
disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh
pengarang -pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya
terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat
aslinya sebagai berikut : Setelah fakir allazi murakkabun ‘a;a jahlihi maka
fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahadan mohonkan taufik ke
hadrat Allah, Tuhan sani’il – ‘alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi’l
‘anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat
ini kamasami’ tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat
baginda. Maka fakir namai hikayaat ini “ Sulalatus Salatin” yakni “pertuturan
segala Raja-Raja”.
Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh
yaitu Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima
Perkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap
memakai gelar Bendahara diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara.
Sedangkan sebagian keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana
Menteri) disana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang
Riau, Lingga (1688- 1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat
Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang
ini.
0 Komentar untuk "Menuju Kemajuan Samalanga dan Kecamatan Simpang Mamplam Dilihat dari sejarah"